Senin, April 06, 2009

Pura Majapahit Trowulan Disegel, Parisada Diam Saja

Satu-satunya pura yang merupakan tonggak sejarah perkembangan Hindu Zaman Majapahit ada di Desa Segaran, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Pura ini masih eksis dan mendapat perhatian dari keturunannya apapun agamanya sekarang ini. Sehingga sehari-harinya nyaris ramai dikunjungi umat untuk melakukan sembahyang guna memohon keselamatan.

Sayangnya, walau era reformasi sedang bergelayut, tak semua orang mau menerima keberadaan pura ini. Ujung-ujungnya pura yang kini merupakan basis untuk kunjungan umat yang mengaku keturunan Majapahit, disegel begitu saja tanpa alasan yang jelas. Dengan disegelnya Pura Majapahit, membuat berang Pinandita Pura, yaitu Hyang Suryo Wilotikta.

Lebih berang lagi, sampai rumahnya dipasangi sebuah pengumuman yang pada intinya melarang segala kegiatan ritual yang berlangsung di rumahnya maupun di pura. Pengumuman yang dipasang di rumahnya pada tanggal 16 Agustus 2002 lalu dilakukan oleh lurah dan pegawai Kecamatan Trowulan. Bunyi pengumuman tersebut adalah.


“PENGUMUMAN”:
Berdasarkan:
Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mendagri No. 01/BER/MDN-MAG/69.
Perda KAB. MOJOKERTO NO 16 TH. 83. (MENUTUP BANGUNAN, MELARANG KEGIATAN RITUAL DAN KEGIATAN DALAM BENTUK APAPUN MUSPIKA TROWULAN.

Lebih menjengkelkan hati Hyang Suryo (53) yang kini ada di Bali, Pura Majapahit siap dirobohkan oleh orang-orang yang sirik dan tidak bertanggungjawab. Pembongkaran pura yang berdiri megah dilakukan 30 Agustus 2002. Ketika itu dilangsungkan acara salat Jumat yang digelar oleh umat dari Desa Segaran, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Selesai shalat Jumat, papar Eyang Suryo dengan kesal, bukannya mau pulang, namun Pura Majapahit yang tidak bersalah hendak dirobohkan. Namun, ketika mau di robohkan, ada empat Kiai yang melakukan pencegahan. Keempat kiai itu adalah, K H. Manan, ulama setempat, H. Abdul Muchid, H. Sofyan, H. Noerhadi, Keempat ulama ini berupaya mencari damai dengan Bupasti Mojokerto, namun sayangnya, Bupati Mojokerto Drs. Ahmacdy, M.Si, MM, ada di Bali. Ulama tersebut hanya bisa bertemu dengan Arief, (Kakan Kesbanglinmas). Menurut orang-orang yang mau merobohkan pura, katanya Hyang Suryo, sudah mempunyai kesepakatan akan membongkar sendiri puranya, seperti yang telah dijanjikan setahun yang lalu.

Hyang Suryo dicap sebagai menyebarkan agama Hindu, serta kembali membesarkan ritual yang setiap saat dilangsungkan di pura. Itulah sebabnya rumahnya dan pura disegel sampai sekarang. Sebagai upaya untuk menghindari hancurnya pratime yang ada di pura, akhirnya diputuskan segala benda yang ada di pura diboyong di Bali.

Kini pratima nyejer di Kintamani, Bangli, tepatnya di tempat pameran pusaka Majapahit. Menurut Hyang, pratima akan nyejer selama kondisi buruk masih mengancam pura, kapan akan kembali ke Pura Majapahit belum ada kepastian. Umat Hindu yang ingin melihat pratima warisan Majapahit itu kini tidak perlu ke Pura Majapahit di Trowulan, karena sudah nyejer di Hotel Lake View, Kintamani. Diakuinya tempat itu memang bukan dipilih sembarangan, melainkan atas pawisik dari leluhur.

Hyang Suryo terus melawan. Ia sudah berkirim surat kepada Kapolda Jawa Timur di Surabaya. Surat tersebut intinya mohon keadilan. Surat yang ditandatangani 23 September 2002 ditembuskan kepada Pangdam Brawijaya dan Para Kerabat Majapahit.

Diakuinya, Pura Majapahit, memang selalu ramai dikunjungi oleh kerabat dari berbagai agama, bahkan dari India juga ada datang ke pura ini. Sehingga pura menjadi ramai hampir setiap hari.

Dengan ramainya kunjungan umat, Hyang menyebut pura ini Pura Pancasila, karena orang yang sembahyang bukan hanya dari kalangan Hindu, namun datang dari kalangan muslim, dan umat lainnya yang masih percaya sebagai Majapahit sebagai leluhurnya.

Parisada Diam

Meski Pura Majapahit itu sudah disegel, Parisada baik yang di Jawa Timur maupun di Pusat ternyata diam saja. Adalah I Ketut Sudana dari Banjar Tegallantang Kaja, Denpasar, yang berani menulis surat pembaca di Harian Bali Post, yang dimuat pada hari Minggu (2/3/2003). Sudana mengaku sedih, tempat suci untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi dijegal oleh SK Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 2003.

Selain mengaku sedih, Sudana juga mengaku prihatin, sebab bagaimana kalau nasib sejumlah pura di tempat lain diberlakukan demikian, sementara Parisada hanya bisa menonton saja. Karena itu, selaku umat, Sudana mengharap agar ada komentar dari PHDI. "Parisada hendaknya memberikan penjelasan terhadap kasus yang menimpa Pura Majapahit Pusat itu," tulisnya.

Ternyata toleransi yang diberikan umat Hindu di Bali terhadap umat non-Hindu tidak sebanding yang diterima umat Hindu di luar Bali. Dari kasus di Trowulan itu, dan kasus-kasus diskriminatif di tempat lain, umat Hindu harus dewasa dan berani bersikap. Jika umat Hindu terus polos dan "manut-manut wae", hanya tinggal menunggu waktu, umat Hindu akan semakin mengecil dan pada akhirnya habis.

Adakah umat Hindu di Bali berani mempermasalahkan tempat ibadah umat agama lain? Lebih dari itu, maukah Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri membuat SK pembekuannya andai ada umat Hindu di Bali yang menyampaikan keluhan terhadap tempat ibadat umat non-Hindu yang kini bertebaran di desa-desa

1 komentar: