Selasa, April 14, 2009

Pameran Pusaka Budaya Nusantara

Selama dua minggu, dari 20 Juli hingga 2 Agustus 2003, berlangsung pameran benda-benda pusaka di Gedung Ksirarnawa Art Center, Taman Budaya Bali. Benda-benda pusaka yang diperlihatkan kepada publik itu berasal dari beberapa periode -- zaman Majapahit, Singosari, Pajajaran, Kasunanan, Kasultanan dan Kadipaten. Selain benda pusaka berupa tosan aji -- keris, tombak, cundrik -- dan lain-lain juga dipamerkan benda-benda keramat seperti pratima Pura Majapahit, pratima Raja Brawijaya di Candi Simping dan batu pusaka Pura Dalem Solo Bali. Pertanyaannya, apa sesungguhnya tujuan dipamerkan benda-benda itu? Kenapa yang keramat juga diperlihatkan kepada publik?

Pameran yang dibuka Kadis Pendidikan Propinsi Bali Gusti Ngurah Oka, S.E. itu memiliki makna tersendiri. Selain, berupaya untuk ''mengakrabkan'' generasi muda kepada benda-benda pusaka, pameran itu sesungguhnya memberi gambaran kepada masyarakat bahwa sejak lama para nenek moyang bangsa Indonesia memiliki keahlian menciptakan senjata. Tidak hanya tajam secara fisik, juga diyakini memiliki yoni -- kekuatan gaib.

Ketua Panitia Pameran Dr. RM Heng Roos Gianto, M.Si. mengatakan, selama ini ada kesan bahwa generasi muda ''takut'' terhadap benda-benda pusaka. Demikian juga benda-benda yang dikeramatkan. Bahkan, keberadaan benda-benda keramat seolah-olah ditutup-tutupi.

Karena itu, selain senjata pusaka, dalam pameran kali ini sejumlah benda pusaka pada masa Kerajaan Majapahit ikut diperlihatkan kepada masyarakat, khususnya Bali. ''Kita berharap agar generasi muda akrab dengan budaya warisan nenek moyang bangsa ini, dan tidak silau pada budaya asing,'' katanya.

Benda-benda pusaka Pura Majapahit yang dipamerkan di antaranya satu paket leluhur Singalayapara. Benda yang dikeramatkan itu terbuat dari perunggu, kuningan dan emas berupa arca leluhur putri Majapahit yang dimanifestasikan Ratu Mas Magelung atau Dewi Kwan Im.

Di samping itu, ada bedug Singa Ludaya, arca Dewi Suhita atau Ratu Galuh Kencana -- putri Majapahit -- topeng Gajahmada, lukisan keramik dan lain-lain. Pada zaman Majapahit, tiap ujung kiri tempat pemujaan leluhur diberi tambur atau bedug. Hal itu masih dilakukan sampai kini, kendati tidak ditabuh.

Panditoratu Pura Majapahit Hyang Suryo Wilatikno mengatakan, benda-benda pusaka itu memang dikeramatkan di Pura Majapahit.

Kenapa benda-benda tersebut diperlihatkan kepada masyarakat umum, Hyang Suryo memiliki alasan yang mendasar. Selama ini, katanya, Pura Majapahit ditutup atau disegel oleh pihak berwajib. Kegiatan ritual dan aktivitas lainnya dilarang. Bahkan, ada isu ingin dibom oleh pihak tertentu. Karena ditutup, tentu umat tidak sempat tangkil ke pura tersebut --yang mana di sana terdapat sejumlah benda pusaka pada masa Kerajaan Majapahit.

''Itu makanya kami memamerkan benda-benda tersebut, dengan harapan masyarakat tahu bahwa inilah benda pusaka yang distanakan di Pura Majapahit Trowulan,'' ujarnya didampingi Yanto (Islam) dan Ajun (Buddha) -- dua orang yang berbeda agama, tetapi memiliki garis luluhur yang sama, Majapahit.

Sebelumnya, kata Hyang Suryo, benda-benda pusaka itu berada terpencar di sejumlah tempat. Bahkan, ada yang disimpan oleh beberapa keluarga. Setelah Pura Majapahit berdiri tahun 1997, benda-benda itu disimpan di pererepan Pura tersebut.

Hyang Suryo yang mengaku keturunan ke-11 Kerajaan Majapahit hasil perkawinan Brahma Raja Wilatikno dengan putri Cina bernama Li Yu Lan itu mengatakan, benda-benda pusaka tersebut ''dipelihara'' oleh mereka yang memiliki garis keturunan Majapahit. ''Kendati mereka berbeda agama, sampai saat ini tetap pada tradisi nenek moyangnya,'' kata peraih bintang dharma dan bakti budaya tersebut.

Minggu, April 12, 2009

Pertama dalam 500 Tahun

Rabu (19/12) diadakan odalan Pratima Dewi Tangan Seribu (Laksmi) di Candi Ibu Puri Gading, Jimbaran. Hal itu diungkap Sri Brahmaraja Wilatikta XI sebagai penglingsir Puri Surya Majapahit, Trowulan, Jatim. “Kami juga akan resmikan Forum Kebangkitan Siwa Budha sesuai dengan pawisik dan titah dari Sabdo Palon Nayagenggong yang turun lewat kerauhan massal saat Durga Navaratri. Ini saatnya Hindu bangkit di Nusantara,” ungkapnya. Untuk itulah pihaknya bersama World Hindu Youth Organoization (WHYO) akan mengundang ribuan umat Hindu untuk hadir dalam odalan Pratima Ibu. “Pratima ini diselamatkan dari kehancuran Majapahit lima ratus tahun lalu. Di Bali beliau dikenal sebagai Betari Sri dan lewat pawisikmeminta khusus masyarakat Bali untuk menyambut beliau setelah 500 tahun, dan ini adalah odalan yang pertama kali sejak lima abad,” paparnya. Sejak awal tahun ini pihaknya telah mendirikan sebuah Candi Ibu berornamen Jawa yang megah bekerja sama dengan Desa Adat di Puri Gading, Jimbaran. “Ini satu-satunya Candi model Jawa yang dibangun di Bali.

Kami berharap umat Tri Dharma yakni Hindu, Budha dan kejawen agar bisa berdoa bersama-sama. Selain itu komunitas Tionghoa juga ikut serta mengingat Dewi tangan Seribu sangat identitik dengan Dewi Kwam-Im,” jelasnya. Dia mengingatkan, jangan sampai gagal mendirikan Candi Semar di Sanur. Jika sampai gagal maka sesuai pawisik Sabdo Palon tahun depan Bali akan diterjang air laut. Mudah-mudahan rakyat Bali bisa segera mewujudkan, pungkas Hyang Suryo.

Senin, April 06, 2009

Pura Majapahit Trowulan Disegel, Parisada Diam Saja

Satu-satunya pura yang merupakan tonggak sejarah perkembangan Hindu Zaman Majapahit ada di Desa Segaran, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Pura ini masih eksis dan mendapat perhatian dari keturunannya apapun agamanya sekarang ini. Sehingga sehari-harinya nyaris ramai dikunjungi umat untuk melakukan sembahyang guna memohon keselamatan.

Sayangnya, walau era reformasi sedang bergelayut, tak semua orang mau menerima keberadaan pura ini. Ujung-ujungnya pura yang kini merupakan basis untuk kunjungan umat yang mengaku keturunan Majapahit, disegel begitu saja tanpa alasan yang jelas. Dengan disegelnya Pura Majapahit, membuat berang Pinandita Pura, yaitu Hyang Suryo Wilotikta.

Lebih berang lagi, sampai rumahnya dipasangi sebuah pengumuman yang pada intinya melarang segala kegiatan ritual yang berlangsung di rumahnya maupun di pura. Pengumuman yang dipasang di rumahnya pada tanggal 16 Agustus 2002 lalu dilakukan oleh lurah dan pegawai Kecamatan Trowulan. Bunyi pengumuman tersebut adalah.


“PENGUMUMAN”:
Berdasarkan:
Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mendagri No. 01/BER/MDN-MAG/69.
Perda KAB. MOJOKERTO NO 16 TH. 83. (MENUTUP BANGUNAN, MELARANG KEGIATAN RITUAL DAN KEGIATAN DALAM BENTUK APAPUN MUSPIKA TROWULAN.

Lebih menjengkelkan hati Hyang Suryo (53) yang kini ada di Bali, Pura Majapahit siap dirobohkan oleh orang-orang yang sirik dan tidak bertanggungjawab. Pembongkaran pura yang berdiri megah dilakukan 30 Agustus 2002. Ketika itu dilangsungkan acara salat Jumat yang digelar oleh umat dari Desa Segaran, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Selesai shalat Jumat, papar Eyang Suryo dengan kesal, bukannya mau pulang, namun Pura Majapahit yang tidak bersalah hendak dirobohkan. Namun, ketika mau di robohkan, ada empat Kiai yang melakukan pencegahan. Keempat kiai itu adalah, K H. Manan, ulama setempat, H. Abdul Muchid, H. Sofyan, H. Noerhadi, Keempat ulama ini berupaya mencari damai dengan Bupasti Mojokerto, namun sayangnya, Bupati Mojokerto Drs. Ahmacdy, M.Si, MM, ada di Bali. Ulama tersebut hanya bisa bertemu dengan Arief, (Kakan Kesbanglinmas). Menurut orang-orang yang mau merobohkan pura, katanya Hyang Suryo, sudah mempunyai kesepakatan akan membongkar sendiri puranya, seperti yang telah dijanjikan setahun yang lalu.

Hyang Suryo dicap sebagai menyebarkan agama Hindu, serta kembali membesarkan ritual yang setiap saat dilangsungkan di pura. Itulah sebabnya rumahnya dan pura disegel sampai sekarang. Sebagai upaya untuk menghindari hancurnya pratime yang ada di pura, akhirnya diputuskan segala benda yang ada di pura diboyong di Bali.

Kini pratima nyejer di Kintamani, Bangli, tepatnya di tempat pameran pusaka Majapahit. Menurut Hyang, pratima akan nyejer selama kondisi buruk masih mengancam pura, kapan akan kembali ke Pura Majapahit belum ada kepastian. Umat Hindu yang ingin melihat pratima warisan Majapahit itu kini tidak perlu ke Pura Majapahit di Trowulan, karena sudah nyejer di Hotel Lake View, Kintamani. Diakuinya tempat itu memang bukan dipilih sembarangan, melainkan atas pawisik dari leluhur.

Hyang Suryo terus melawan. Ia sudah berkirim surat kepada Kapolda Jawa Timur di Surabaya. Surat tersebut intinya mohon keadilan. Surat yang ditandatangani 23 September 2002 ditembuskan kepada Pangdam Brawijaya dan Para Kerabat Majapahit.

Diakuinya, Pura Majapahit, memang selalu ramai dikunjungi oleh kerabat dari berbagai agama, bahkan dari India juga ada datang ke pura ini. Sehingga pura menjadi ramai hampir setiap hari.

Dengan ramainya kunjungan umat, Hyang menyebut pura ini Pura Pancasila, karena orang yang sembahyang bukan hanya dari kalangan Hindu, namun datang dari kalangan muslim, dan umat lainnya yang masih percaya sebagai Majapahit sebagai leluhurnya.

Parisada Diam

Meski Pura Majapahit itu sudah disegel, Parisada baik yang di Jawa Timur maupun di Pusat ternyata diam saja. Adalah I Ketut Sudana dari Banjar Tegallantang Kaja, Denpasar, yang berani menulis surat pembaca di Harian Bali Post, yang dimuat pada hari Minggu (2/3/2003). Sudana mengaku sedih, tempat suci untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi dijegal oleh SK Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 2003.

Selain mengaku sedih, Sudana juga mengaku prihatin, sebab bagaimana kalau nasib sejumlah pura di tempat lain diberlakukan demikian, sementara Parisada hanya bisa menonton saja. Karena itu, selaku umat, Sudana mengharap agar ada komentar dari PHDI. "Parisada hendaknya memberikan penjelasan terhadap kasus yang menimpa Pura Majapahit Pusat itu," tulisnya.

Ternyata toleransi yang diberikan umat Hindu di Bali terhadap umat non-Hindu tidak sebanding yang diterima umat Hindu di luar Bali. Dari kasus di Trowulan itu, dan kasus-kasus diskriminatif di tempat lain, umat Hindu harus dewasa dan berani bersikap. Jika umat Hindu terus polos dan "manut-manut wae", hanya tinggal menunggu waktu, umat Hindu akan semakin mengecil dan pada akhirnya habis.

Adakah umat Hindu di Bali berani mempermasalahkan tempat ibadah umat agama lain? Lebih dari itu, maukah Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri membuat SK pembekuannya andai ada umat Hindu di Bali yang menyampaikan keluhan terhadap tempat ibadat umat non-Hindu yang kini bertebaran di desa-desa